Laman

Senin, 02 Agustus 2010

Wajah-Wajah tersenyum


Seringnya aku mengamati gerak-gerik, Rona muka orang-orang di sekelilingku membuatku berkesimpulan bahwa wajah tersenyum menyenangkan untuk dipandang adalah sering kali bernilai positif baik bagi si pemilik wajah atau orang yang memandangnya.
Aku belum bisa menjadi orang yang stabil secara mental walaupun umur sudah setengah tua, sering kali wajah-ku bisa berubah ubah tergantung perasaan yang ada. Dan hal itu sulit ditahan walaupun di depan banyak orang. Inilah kelemahan manusia. Ketika perasaan-ku senang maka memantulkan ke wajah dan membentuk bibir yang tidak cemberut alias agak senyum maka orang2 di sekitar ku-pun turut merasakan atau setidaknya aku bukan orang yang menyebalkan bagi mereka. Bahkan ketika hal itu terjadi dalam keadaan kesulitan ada aja orang yang mau memberi bantuan.
Tapi sebaliknya ketika aku cemberut, sinis atau cuek aja tanpa atau dengan alasan, sepertinya tak ada seorangpun mengertikanku apalagi menyukai bahkan membantu. Semua cuek dan aku menjadi berprasangka buruk kepada mereka.
Sangatlah mudah untuk menyesuaikan diri dan perasaan, seperti setelan. Tapi tidak bagi orang yang berusaha menahan arus perasaannya sendiri, berusaha tetap tersenyum walau hati se-kacau apapun. Sebenarnya di bagian inilah yang tidak mudah dalam hidup-ku. Teringat "alah bisa karena biasa". Yah mungkin aku akan coba untuk membiasakannya. Membiasakan hal-hal yang sulit? apa ini tidak berarti muna munafik? muna kah? lain di wajah lain di hati. kesimpulannya tidak semua yang berbeda (antara luar dan dalam) memancarkan keburukan. Fakta menunjukkan prilaku tersebut bisa berarti doa asalkan diletakkan pada tempatnya (tergantung situasi dan kondisi).
Berusaha tersenyum ketika hati sedih (dengan atau tanpa sebab yang jelas) lambat laun bisa membawa hati dengan suasana tersenyum pula. Benarkah? coba aja! dengan syarat semua harus dengan ketulusan tanpa pamrih (kecuali kepada tuhan).
Walaupun hidup ini berputar-putar tetapi jika serius kita mengamatinya maka akan kembali ke titik yang sama. Cuma warna dan rasa aja yang beda karena hal itu bisa berubah-ubah.

Mengelola hati dan pikiran dengan sehat adalah sumber kesehatan.
pantang berprasangka buruk karena itu sumber penyakit.
Waspada perlu, tapi bukan su'udhon. beda-beda tipis sih.

Izzypagi /twice-2010-2011


Kamis, 01 Juli 2010

Pedang Malam


Sekitar delapan tahun yang lalu aku mempunyai sebuah pedang tetapi hari ini dia telah berkarat sehingga aku tidak bisa menggunakannya lagi sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena aku jarang mengasahnya.
Terkadang aku teringat tentang pedang itu, maka bercucuran air mataku demi mengenang nya. Mungkinkah kembali ke masa-masa seperti itu, dimana setiap hari- saat tertentu aku berhasrat mengasahnya sehingga semakin tajam dan tajam dan... ketika ada aral melintang aku bisa menggunakannya. Dengan pedang itu lantaran aku bisa memenuhi kebutuhanku-spiritual ku tanpa harus terbelenggu dalam dalam penderitaan batin yang berlarut-larut seperti saat ini.
Aku baru menyadari betapa berharganya pedang itu bagiku setelah aku kehilangan fungsinya. Dan... aku baru menyadari betapa sulit untuk mendapatkannya kembali setelah aku mencoba memperbaikinya lagi karena selalu dihadang berbagai kesulitan yang belum pernah kubayangkan sebelumnya.
Dulu aku tidak pernah berfikir untuk memiliki sebilah pedang atau semacamnya. Namun, setelah menapaki kehidupan demi kehidupan yang penuh tantangan dan sering-nya ku dapati diriku ada kesabaran dalam menjalankan tugas dan perintah tuhan secara rutin dan terus menerus tanpa kusangka aku memiliki sebilah pedang padahal aku tidak mengharapkan-nya. Tetapi... disaat aku begitu menginginkannya dengan berbagai upaya, kenapa justru hal itu menghindar dariku.
Salahkan keinginan ini atau ini naphsu? Apapun yang terbentuk dengan disertai naphsu mengapa menjadi tidak tenang ya? (Annisa/Ngagel 1999)

"Menjaga lebih sulit ketimbang membangun".